Jakarta (ANTARA) – “Sebuah kebijakan bisnis, langkah bisnis, hanya ada dua kemungkinan: untung atau rugi. Jika semua perusahaan yang merugi harus dihukum, maka seluruh BUMN (badan usaha milik negara) harus dihukum. Ini berbahaya, dan itu akan menghancurkan sistem,” kata Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla menyampaikan pernyataan tersebut dalam persidangan kasus korupsi mantan Dirut PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan pada 16 Mei 2024 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
JK, panggilan akrabnya, hadir sebagai saksi a de charge atau saksi yang meringankan. Saksi a de charge biasanya diajukan oleh terdakwa untuk membela diri terhadap dakwaan yang diarahkan padanya.
Kekhawatiran JK disertai dengan kebingungan karena langkah bisnis Karen saat melakukan pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina pada 2011-2014 disebut sebagai pelaksanaan tugas, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang ditujukan kepada PT Pertamina.
Oleh karena itu, jika Karen akhirnya dinyatakan bersalah, maka tidak akan ada individu yang ingin bekerja di perusahaan negara. Bahkan, tidak akan ada lagi orang yang mau berinovasi jika bekerja di BUMN, karena jika merugi bisa dihukum pidana, itu juga bisa berbahaya bagi negara.
Dalam kasus Karen tersebut, business judgement rule (BJR), sebuah prinsip yang melindungi kewenangan direksi dalam pengambilan keputusan, perlu dipertimbangkan oleh hakim yang memeriksa kasus Karen.
Perlu berhati-hati dalam menerapkan BJR
Prinsip BJR telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, seperti yang tercantum dalam Pasal 97 Ayat (5).
Pasal tersebut menyatakan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan jika kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan atau kelalaiannya, telah melakukan pengelolaan dengan itikad baik dan berhati-hati untuk kepentingan perseroan, tidak ada benturan kepentingan dalam tindakan pengelolaan yang menyebabkan kerugian, dan telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian tersebut.
Secara ringkas, seorang anggota direksi perusahaan atau BUMN tidak bisa dihukum jika telah bertindak dengan itikad baik dan berhati-hati, meskipun terjadi kerugian akibat keputusannya.
Meskipun begitu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana menilai bahwa direksi perusahaan atau BUMN masih dapat dikenakan sanksi pidana jika mens rea atau niat untuk melakukan tindak pidana, dan actus reus atau tindak pidana korporasi dapat dibuktikan di pengadilan. Namun, jika tidak dapat dibuktikan, direksi tersebut tidak dapat dihukum.
Selain itu, ada tiga alasan BUMN bisa merugi. Pertama, masalah perdata, yang dapat diselesaikan secara damai. Kedua, masalah administratif karena ada kebutuhan mendesak untuk mengambil keputusan dengan cepat. Terakhir, merugi karena risiko bisnis.
Rugi karena risiko bisnis dapat terjadi karena direksi tidak bisa meramal. Oleh karena itu, jika berbagai simulasi telah dilakukan atau para profesional terlibat untuk mengambil keputusan yang menguntungkan, tetapi terjadi sesuatu yang tidak terduga, seperti pandemi COVID-19, maka kerugian bisa terjadi.
Oleh karena itu, perlu berhati-hati dengan memperhatikan prinsip BJR dalam menetapkan apakah kerugian perusahaan BUMN dapat dikategorikan sebagai kerugian negara atau kerugian murni karena risiko bisnis.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI Feri Wibisono juga mengatakan bahwa kerugian perusahaan bukan menjadi tanggung jawab seorang direksi jika keputusannya sesuai dengan kewenangannya, berhati-hati, tidak ada benturan kepentingan, dan memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Oleh karena itu, jika terjadi kerugian tetapi memenuhi prinsip BJR, itu termasuk kerugian bisnis.
Dalam peradilan pidana, hakim disebut telah mempertimbangkan prinsip fiduciary duty atau kewajiban dan tanggung jawab terhadap perusahaan dalam pertimbangan, sehingga tindakan yang melanggar BJR bisa menyebabkan seorang direksi harus mengganti kerugian perusahaan.
Hakim juga bisa memperhatikan tindakan melanggar hukum, penyalahgunaan wewenang, atau menimbulkan kerugian yang dilakukan oleh seorang direksi.
Ada tiga tingkatan kesengajaan dalam hukum. Tingkatan tertinggi adalah kesengajaan sebagai maksud, yaitu dengan sengaja merugikan keuangan negara untuk mendapatkan sesuatu.
Selanjutnya, kesengajaan menyadari kemungkinan, yaitu membuat keputusan untuk perusahaan tetapi analisis menunjukkan bahwa perusahaan akan merugi jika keputusan itu diambil. Terakhir, kesengajaan menyadari kemungkinan.
Tentu saja, majelis hakim perlu mempertimbangkan prinsip fiduciary duty dan tingkatan kesengajaan dalam peradilan pidana. BJR juga harus dipertimbangkan sehingga kekhawatiran yang disampaikan JK dalam persidangan beberapa waktu lalu tidak terjadi.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Periode 1998–2000 Martiono Hadianto mengatakan bahwa kehati-hatian sangat diperlukan bagi seseorang yang menjabat sebagai direksi di BUMN. Oleh karena itu, prinsip BJR harus selalu diterapkan oleh para direksi. Konflik kepentingan selalu ada dalam setiap pengambilan keputusan.
Tindak lanjut lainnya
Praktisi hukum Maqdir Ismail menyatakan bahwa peraturan lain perlu diatur ulang untuk menghindari kebingungan dalam mempertimbangkan BJR oleh majelis hakim, atau sebelum menentukan apakah suatu kerugian yang dialami oleh BUMN merupakan kerugian negara dan perlu diadili dalam peradilan pidana.
Bribery Act 2010 atau Undang-Undang Penyuapan Britania Raya 2010 disebut sebagai contoh karena tidak langsung memidanakan perusahaan jika merugikan negara selama perusahaan tersebut memiliki aturan internal untuk mencegah praktik suap.
Revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) juga dianggap perlu untuk membatasi kewenangan aparat penegak hukum dalam peradilan pidana terkait kerugian negara yang diakibatkan oleh BUMN.
Revisi pasal-pasal yang berkaitan dengan kerugian negara dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dianggap perlu, terutama terkait Pasal 2 dan 3.
Selain itu, revisi Pasal 603 dan 604 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dibutuhkan.
Pasal-pasal tersebut menetapkan bahwa setiap orang yang melanggar hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dihukum penjara.
Demikianlah, perubahan peraturan perundang-undangan diperlukan untuk mengklarifikasi apakah keuangan BUMN dianggap sebagai keuangan negara atau bukan.
Prof. Hikmahanto, Maqdir, dan Feri setuju bahwa revisi aturan perlu dilakukan, terutama pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal tersebut memicu kekhawatiran bahwa banyak direksi khawatir merugikan negara dan dipenjara saat mengambil keputusan berisiko tinggi.
Selain revisi aturan, diperlukan juga kode etik yang seragam di seluruh BUMN mengenai BJR.
Dengan demikian, aparat penegak hukum dapat merujuk pada kode etik sebelum memutuskan apakah kerugian BUMN dianggap sebagai kerugian perusahaan atau tindak pidana korupsi.
Penyunting: Achmad Zaenal M
Hak Cipta © ANTARA 2024