Mahkamah Konstitusi (MK) melemahkan dalil permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar perihal Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir melanggar aturan pemilu karena diduga tidak pernah cuti atau mundur dari jabatan saat melakukan kampanye untuk pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Menurut Mahkamah, dalil permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan hukum dalam sidang pembacaan putusan perkara Perselisihan Hasil pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Gedung I MK RI, Jakarta, Senin.
MK mengatakan, dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan Erick sejatinya telah ditindaklanjuti oleh Bawaslu. Namun, MK mengakui Bawaslu belum memperhatikan aspek lain dalam menarik kesimpulan terkait dugaan pelanggaran pemilu tersebut.
“Bawaslu belum memperhatikan aspek lain seperti penggunaan fasilitas negara, citra diri, dilakukan dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara, maupun waktu pelaksanaan yang berada dalam tahapan kampanye pemilu,” ujar Arsul.
Hal tersebut, kata dia, terjadi karena tidak adanya persyaratan baku maupun tata urut atau pisau analisis yang harus digunakan oleh Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristiwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materiil.
“Sehingga menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu tidak dilakukan secara komprehensif,” imbuh Arsul.
Namun demikian, Mahkamah juga tidak dapat berpendapat terlalu jauh. Hal ini karena kubu Anies-Muhaimin tidak mengajukan bukti lebih lanjut dalam persidangan yang dapat meyakinkan Mahkamah akan kebenaran dalil tersebut.
Diketahui, MK menyatakan menolak seluruh permohonan Anies-Muhaimin. Mahkamah berkesimpulan permohonan Anies-Muhaimin tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Pada sidang pleno terbuka untuk umum itu, MK juga membacakan putusan perkara sengketa pilpres yang diajukan oleh pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Sama halnya dengan amar putusan Anies-Muhaimin, MK juga menolak seluruh permohonan Ganjar-Mahfud.
Atas putusan itu, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga Hakim Konstitusi, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Pada intinya, ketiga Hakim Konstitusi tersebut berpendapat seharusnya MK memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.
Penulis: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Hak Cipta © ANTARA 2024