Pada Minggu, 2 Maret 2025, pukul 23:00 WIB, kasus prostitusi yang berkedok layanan spa di Flame Spa Bali menggegerkan industri pariwisata di Pulau Dewata. Selain melanggar hukum, kejadian ini juga mengancam citra Bali sebagai tujuan wisata budaya. Pengamat sosial Gung Pram mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak yang lebih luas dari kasus ini, terutama terkait dengan identitas dan nilai budaya yang selama ini menjadi daya tarik utama pariwisata di Bali.
Menurut Gung Pram, praktik semacam ini bisa mengubah citra Bali dari destinasi budaya menjadi pusat hiburan malam. Ia menegaskan bahwa Bali dikenal dengan pariwisata berbasis adat dan budaya, bukan sebagai tempat wisata seks. Kekhawatirannya adalah jika praktik seperti ini terus dibiarkan, citra Bali akan tergerus dan beralih menjadi destinasi hiburan malam yang jauh dari nilai-nilai lokal.
Gung Pram juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap bisnis hiburan di Bali yang membuka peluang bagi maraknya praktik serupa. Jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah, ia memperkirakan kasus semacam ini akan terus berulang dan merugikan masyarakat Bali. Oleh karena itu, ia mendorong desa adat untuk lebih aktif dalam mengawasi perkembangan industri hiburan di wilayah mereka dan menekankan pentingnya peran desa adat dalam menjaga moral dan kearifan lokal Bali.
Selain itu, Gung Pram menekankan bahwa wisatawan mencari keindahan alam dan budaya, bukan hanya hiburan malam. Kasus Flame Spa dianggap sebagai pelajaran berharga agar Bali tetap mempertahankan pariwisata berbasis budaya dan adat, serta mencegah hilangnya identitas Bali di mata wisatawan.